Pengikut

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Minggu, 22 Januari 2012

minoritas muslim dan konflik di thailand selatan

tertentu yang memiliki kepentingan. Di antara mereka adalah aparat pemerintah.
Berlanjutnya kerusuhan akan mendapatkan budget lebih besar bagi rehabilitasi dan pembangunan lainnya. Separatisme, Etnis atau Agama? Bagi masyarakat Indonesia, konflik di Thailand Selatan sangat kental dengan nilai-nilai agama. Mereka melihat konflik ini adalah pertarungan antara Muslim Melayu dan Buddis Thai. Kata ‘Muslim’ dan ‘Buddhis’ mengarahkan pada kuatnya pengaruh agama dalam masing-masing masyarakat. Apabila dilihat lebih dekat, identitas Muslim Melayu di Selatan memang sangat kuat. Masyarakat khususnya di tiga provinsi: Pattani, Yala, dan Narathiwat identitas keislaman dan kemelayuan tidak bisa dipisahkan. Masyarakat lebih welcome dengan orang Melayu daripada dengan etnis lain, terutama Thai.
Penggunaan bahasa Melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga provinsi ini, di atas 70 %, dibandingkan dengan provinsi lain di Selatan: Satun dan Songkhla. Tetapi bahasa Melayu ‘dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di perkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan ba hasa Melayu, karena bahasa ini memberi spirit identitas mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 2000 orang meninggal berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap Muslim. Pada April 2004, 30 pemuda Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah karena didirikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada Khalifah Abbasiyah.
Peristiwa kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di perjalanan, setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam kondisi terikat tangan di belakang. Dua peristiwa ini sangat membekas di hati Muslim, dan banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin menggiatkan penyerangan terhadap berbagai organ pemerintah maupun masyarakat Buddha. Reaksi Muslim selatan ini direspon negatif oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat militer di kelima provinsi ini.
Peristiwa Takbai yang menewaskan Muslim sekitar 200 orang menimbulkan reaksi paling keras dari milisi Muslim, yang kemudian membalas dengan penembakan dan pemboman misterius yang menargetkan korban tentara, polisi, pegawai pemerintah Thai, etnis China dan pendeta Buddha. Hampir setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban dipihak tentara atau Buddha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika Serikat yang menawarkan bantuan keamanan untuk mengatasi ‘gerilyawan’ dari Selatan.
Upaya rekonsiliasi telah dilakukan oleh pemerintah pusat dalam lima tahun terakhir, dengan terbentuknya Komisi Rekonsiliasi Nasional yang mengantarkan dan memediasi perdamaian di Selatan. Kuatnya peran tentara di Thailand, membuat banyak rekomendasi komisi tidak bisa dijalankan. Pendidikan, pekerjaan dan fasilitas pemerintah lainnya tetap saja tidak leluasa dinikmati bagi Muslim Melayu. Persyaratan pemakaian ketat bahasa nasional Thai dan sikap yang mencerminkan nasionalisme –pro kebijakan pusat – menjadi penghambat rekonsiliasi yang telah dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan komisi rekonsiliasi. Kehadiran masyarakat internasional, antara lain Nahdlatul Ulama yang menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah- kerajaan Thailand akan banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat mengakomodasi gagasan dan harapan Muslim Melayu di Selatan, yaitu penggunaan tradisi Muslim Melayu lebih terbuka, dan pengakuan pemerintah pusat atas tradisi ini, khususnya di Pattani, Yala, dan Narathiwat.
Dapat disimpulkan, tumbuhnya sikap anti pemerintah pusat yang dilakukan oleh Muslim di Selatan Thailand diakibatkan banyak hal. Kesenjangan ekonomi menjadi kunci atas terus berlangsungya gerakan ‘separatisme’ atau dalam istilah David Brown sebagai ‘separatisme etnis’ atas dominasi kolonialisme internal Thailand. Kesenjangan ini telah berlangsung puluhan tahun. Akibatnya, masyarakat Muslim yang mendapat tekanan politis dan keamanan dari pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Sebagian dari mereka secara diam-diam mendukung gerakan anti-pemerintah. Bahkan beberapa di antara mereka aktif terlibat dalam aksi kekerasan.

perkembangan islam di thailand selatan

Perkembangan Islam di Thailand Selatan

Melayu Pattani atau yang acapkali disebut Pattani, merupakan satu dari sekian banyak kelompok etnik Melayu di Asia Tenggara. Kelompok sosial ini bermukim di Tanah Genting Kra, Provinsi Pattani, Thailand Selatan (Pantai Teluk Thailand). Pattani juga merupakan salah satu nama dari empat provinsi di Thailand bagian selatan yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam atau sekitar 80% muslim. Di sebelah selatan, wilayah ini berbatasan langsung dengan Malaysia bagian utara, Semenanjung Malaka, region Asia Tenggara. Sementara di bagian utara dan barat, provinsi ini berbatasan langsung dengan Provinsi Yala (Jala) dan Narathiwat (Menara) di mana kedua provinsi ini pada masa lalu merupakan bagian dari Tanah Genting Kra atau Pattani Raya.
Dalam prosentasenya, penduduk muslim di Negeri Gajah Putih hanya sekitar 5,5% dari keseluruhan warga negara yang mayoritas beragama Buddha (Asian Survey, Mei 1998). Dari 5,5% ini hampir seluruhnya orang Melayu Pattani yang bermukim di Provinsi Pattani. Fakta kuantitatif tersebut menyebabkan mereka terpinggirkan secara sosial dan politik, serta menjadikannya sebagai sukubangsa minoritas di Thailand. Karena hal itu pula, hingga kini, masih saja muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap negara (penguasa) dari orang Pattani. Salah satunya ialah gerakan separatis masyarakat Pattani yang dikenal dengan dar al-Islam.
Dar al-Islam merupakan gerakan militan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari belenggu ketidakadilan dari pemerintahan Kerajaan Thai (bangsa Siam / Ayuthaya). Selain itu, buntut dari pelbagai persoalan di masa lalu yang tak kunjung usai juga menjadi motif gerakan ini untuk mendeklarasikan negara Islam. Hal ini senada dengan kondisi masyarakat Melayu Moro di Pulau Mindanao, Filipina bagian Selatan, di mana sama-sama berkeinginan untuk memisahkan dari cengkraman negara induknya, Filipina.
Bila menilik dari sejarahnya, sejak abad ke-11 M hingga tahun 1786, Kerajaan Pattani Raya merupakan sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang cukup luas, kira-kira luasnya setara dengan luas wilayah negara Thailand saat ini plus beberapa area yang kini termasuk teritori Malaysia Utara. Pada masa kejayaan Sriwijaya di Nusantara, Pattani dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang terdapat di daerah Semenanjung Melayu dan Sumatra sempat berada dalam kekuasaan imperium Sriwijaya. Dari abad ke-7 M hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya menguasai jalur pedagangan di Selat Malaka, dan menarik pajak dari para pedagang yang melintasi dan berdagang di kawasan itu.
Nama Pattani sesungguhnya baru muncul di sekitar abad ke-14 M. Sebelum itu, tanah Pattani adalah hak milik dari kerajaan yang bernama Langkasuka. Langkasuka merupakan salah satu dari puluhan kerajaan kuna di Asia Tenggara. Langkasuka berubah menjadi Pattani pada abad ke-14 karena berbagai hal yang sifatnya politik-ekonomi, terutama lantaran kerajaan ini berada di pusat perdagangan dan bertemunya para merkantil dari Asia dan Eropa (Syed Serajul Islam, 1998). Pedagang Arab mulai masuk sekitar abad ke-12, dan mencapai puncaknya di abad ke-15 melalui para pedagang Arab yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Pattani Raya.
Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi Kerajaan Pattani Raya tumbuh pesat. Oleh karenanya, interaksi semakin intens antara raja Pattani dan masyarakatnya dengan para pedagang yang berlabuh tadi, maka pada abad ke-15 raja Pattani mendeklarasikan bahwa dirinya—yang juga diikuti masyarakatnya—memeluk Islam. Sejak itu, Pattani dikenal sebagai masyarakat berbasis Islam dengan corak budaya, organisasi sosial masyarakatnya, dan institusi pemerintahan yang tentu berlainan dengan model Kerajaan Langkasuka yang berkiblat pada Hindu-Buddha.
Namun, setelah berperang selama hampir setengah abad (dari tahun 1785—1826 M), memasuki abad ke-19 akhirnya Pattani dikalahkan kembali oleh Siam (Ayuthaya). Hal ini didukung oleh pemerintah kolonial Inggris yang pada tahun 1826 M mengakui kekuasaan Siam atas Pattani. Pada tahun 1902 M, Kerajaan Siam memberlakukan kebijakan Thesaphiban yang menghapus seluruh sistem pemerintahan kesultanan Melayu di Pattani. Sejak saat itu, Kerajaan Pattani semakin lemah dan tertekan.
Di awal abad ke-20, ketika Perang Dunia II meletus, bangsa Siam berpihak pada Jepang untuk menentang kependudukan Inggris. Sementara itu, Tengku Mahmud Muhyiddin, salah seorang putera mantan raja Pattani, berdinas dalam ketentaraan Inggris dengan pangkat mayor. Ia kemudian membujuk penguasa kolonial Inggris yang berkantor di India agar mengambil alih Pattani dan menggabungkannya dengan Semenanjung Melayu. Pada 1 November 1945, sekumpulan tokoh Pattani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil menyampaikan petisi pada Inggris agar empat wilayah di daerah selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Melayu.
Dalam perkembangannya, ternyata Inggris tetap mengutamakan kepentingan dirinya sendiri sebagai tolok ukur dalam mengambil keputusan. Dengan alasan tergantung pada pasokan beras dari Siam, maka kemudian Inggris memilih tetap mendukung pendudukan Siam atas Pattani. Pada tahun 1909 M, Inggris dan Siam menandatangani perjanjian yang berisi pengakuan Inggris terhadap kekuasaan Siam di Pattani. Dalam perjanjian itu, dijelaskan secara tegas mengenai batas wilayah kerajaan Siam dan Semenanjung Melayu. Garis batas yang disepakati dalam perjanjian tersebut sekarang menjadi daerah batas Malaysia dan Thailand.
Dari semua itu, sejarah panjang rakyat Pattani kerap diwarnai dengan perang dan damai; dua keadaan ini datang silih berganti. Namun, apapun kondisinya, ternyata rakyat Pattani tetap memiliki kehidupan sosial budaya yang tidak jauh berbeda dengan kawasan Melayu lainnya. Di Pattani, ternyata juga berkembang berbagai pertunjukan dan permainan rakyat, seperti Makyong, mengarak burung, wayang kulit Melayu, dan seni musik nobat.
Bahkan, permainan tradisional masyarakat Siam, yaitu menora, juga digemari oleh masyarakat muslim Pattani. Dalam permainan menora, terdapat unsur ritual, nyanyian, tarian dan lakon. Berkaitan dengan alat-alat musik, yang berkembang luas di masyarakat adalah serunai, nafiri, dan rebab. Sebagai bangsa yang hidup di dalam kuasa bangsa Siam, di Pattani tetap muncul suatu perlawanan. Perlawanan tersebut terefleksi dalam nyanyian rakyat ketika menidurkan anak (lagu dodoi).

masuknya islam di thailand selatan

Sejarah Masuknya Islam di Thailand Selatan

Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 Masehi melalui para pedagang dari Jazirah Arab. Penduduk setempat dapat menerima ajaran Islam dengan baik tanpa paksaan. Kawasan Thailand yang banyak dihuni umat muslim adalah wilayah bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kantong-kantong muslim di daerah Thailand Selatan ini diantaranya adalah propinsi Pattani, Yala, Satun, Narathiwat dan Songkhla. Di propinsi-propinsi tersebut, rata-rata dihuni oleh sekitar 70 – 80 persen muslim. Selain itu, umat muslim juga tersebar di beberapa wilayah lain, seperti di propinsi Pattalung, Krabi, dan Nakorn Srithammarat.
Pattani adalah salah satu wilayah Thailand yang pernah mengukir sejarah gemilang kejayaan Islam. Pada abad ke-15, negeri ini menjadi sebuah negara Islam terbesar di Asia Tenggara dengan nama Kerajaan Islam Pattani Darussalam. Orang Arab menyebutnya Al Fathoni. Pattani jatuh ke tangan Thailand pada tahun 1785 setelah kerajaan Thailand mengirimkan intelijen untuk mencari rahasia kelemahan Pattani. Makar Thailand sangat licik sehingga akhirnya berhasil meruntuhkan kekuasaan Pattani. Sultan Muhammad, raja Pattani gugur sebagai syahid di medan pertempuran.
Jumlah umat Islam di Thailand relatif kecil , yakni sekitar dua persen. Sumber lain menyebutkan ada sekitar sepuluh persen dari jumlah penduduk Thailand. Namun demikian mereka terus bertahan dan berusaha berda’wah, meski dalam serba keterbatasan. Dalam bidang ekonomi mereka jauh tertinggal oleh para pengusaha Cina yang beragama Budha. Demikian pula dalam bidang politik, pemerintahan Thailand yang didominasi penganut Budha sangat meminggirkan umat Islam. Salah satu kebijakan pemerintah Thailand yang merugikan umat Islam adalah pernah memerintahkan kepada umat Budha agar menyebar ke daerah selatan Thailand yang dihuni oleh umat Islam untuk mengimbangi dan menggembosi kiprah umat Islam. Dalih mereka adalah umat Islam dituduh sebagai penyebab timbulnya berbagai masalah politik dan sosial. Suatu dalih yang terlalu dibuat-buat dan sama sekali tidak berdasar fakta.
Budaya masyarakat muslim Thailand sangat kental dengan budaya Melayu, karena memang rumpun Melayulah yang paling menonjol dalam perjalanan panjang sejarah muslim Thailand sejak abad ke-13. Selain itu, secara geografis, letak Thailand di bagian selatan berbatasan langsung dengan negeri jiran Malaysia. Mata pencaharian sebagian besar muslim Thailand adalah nelayan dan petani. Laut adalah merupakan harta karun bagi mereka. Kesederhanaan dan kejujuran mereka menjadi modal utama untuk bisa menciptakan kehidupan yang tenteram dan bahagia.
Fenomena religius tradisional masih bisa disaksikan di sudut-sudut dusun. Misalnya, saat kembali pulang kerja dari laut, kebiasaan mereka adalah membaca Al Qur’an di rumah bersama keluarga. Mereka taat beribadah. Setiap kali adzan berkumandang, segera mereka bergegas menuju masjid. Kostum sarung dan sorban merupakan pakaian keseharian mereka. Rumah-rumah panggung, bilik bambu adalah wajah kesederhanaan mereka. Di sana terbangun suatu komunitas religius bagaikan sebuah perkampungan pesantren. Dalam bidang pendidikan, anak–anak muslim memiliki dua sekolah. Sehari-hari mereka belajar di sekolah pemerintah sekuler Thailand dan setiap pekan mereka belajar membaca dan memahami Al Qur’an di sekolah Islam dibimbing oleh para orang tua.
Latar belakang sejarah wilayah selatan Thailand yang mayoritas muslim sangat berbeda dengan wilayah utara (Siam) yang mayoritas Budha. Pattani misalnya, negeri ini tidak merasa menjadi bagian dari Siam, karena baik secara ideologi, budaya, maupun agama jelas tidak sama. Mereka dipaksa oleh pemerintah untuk menyatu dalam sebuah negeri Budha tanpa mendapatkan kompensasai yang layak, bahkan sampai dipasung kebebasannya untuk melaksanakan ajaran agama Budha. Tentu saja, hal ini menyebabkan keinginan masyarakat muslim di wilayah selatan untuk melepaskan diri dari pemerintahan Thailand. Sementara pemerintah Thailand menghadapinya dengan tindak kekerasan.
Perkembangan selanjutnya, nama Pattani telah menjadi sebutan bagi seluruh wilayah muslim di Thailand selatan, tidak lagi menjadi sebuatan sebuah propinsi di Thailand. Pattani telah menjadi lambang perjuangan umat Islam. Di negeri ini, berdiri sebuah mesjid yang menjadi lambang Islam, yaitu Masjid Pintu Gerbang atau disebut juga Masjid Kerisek. Masjid ini di berada depan pintu gerbang Istana Negara dengan lebar 15,10 meter, panjang 29,60 meter dan tinggi 6,5 meter. Tentara Thailand pernah membakar masjid bersejarah ini sebanyak tiga kali, namun hingga sekarang masih bisa bertahan. Masjid Pintu Gerbang ini menjadi penghulu masjid-masjid lainnya di Thailand selatan yang jumlahnya sekitar 1.395 (tahun 1987).
Pada tahun 1935 masjid Pintu Gerbang diangkat menjadi situs negara dan dilarang untuk dijadikan sebagai tempat ibadah. Tentu saja umat Islam tidak mau menerima keputusan pemerintah tersebut. Berbagai upaya terus dilakukan, hingga demonstrasi besar-besaran pada tahun 1988 menuntut agar masjid lambang umat Islam tersebut diizinkan dijadikan tempat ibadah kembali. Hasilnya, pemerintah memutuskan bahwa masjid tersebut tetap menjadi situs negara, tetapi boleh dijadikan sebagai tempat ibadah.
Mesjid lain yang menjadi syiar Islam di Thailand adalah Masjid Shalahudin Al Ayubi dan Masjid Kulusei. Masjid Shalahudin Al Ayubi adalah sebuah masjid yang terletak di Nahofi. Arsitektur bangunan masjid ini memiliki kesamaan dengan masjid Madinah dengan dihiasi menara setinggi kira-kira 25 meter. Nama Shalahudin Al Ayubi diambil untuk mengenang kemenangan beliau sebagai panglima Islam dalam Perang Salib pada abad ke-12 M.
Sedangkan Masjid Kulusei adalah sebuah masjid yang menyimpan legenda. Masjid ini hingga sekarang pembangunannya tidak rampung, disebabkan adanya persengketaan antar keluarga dan antar suku yang cukup serius. Pada abad ke-16 M, masjid ini dibangun oleh seorang China Budha yang kemudian masuk Islam. Sebelum masuk Islam, ia pernah bernadzar bahwa jika dirinya masuk Islam, maka ia akan membangun sebuah masjid. Akhirnya, ia menjadi seorang muslim yang taat dan mulai membangun masjid yang dinadzarkannya. Akan tetapi, seorang adik perempuannya yang masih beragama Budha, sangat tidak senang melihat perubahan pada diri kakaknya. Sang adik kemudian melakukan berbagai macam cara untuk menggagalkan rencana kakaknya. Hingga kemudian perseteruan adik-kakak tersebut berkembang menjadi perseteruan suku. Orang-orang China Budha di daerah tersebut terkena makar, sehingga merusak dan menghancurkan masjid tersebut. Hingga kini masjid Kulusei tinggal dinding-dinding rapuh tanpa atap.
Persengketaan antara penduduk muslim dan pemerintahan Thailand itu terus memanas hingga dekade 70-an. Pembunuhan dan berbagai tindak kekerasan lainnya sering dialami oleh para aktivis Islam. Hal ini menimbulkan munculnya berbagai organisasi yang berhaluan keras menuntut kemerdekaan Pattani, seperti Pattani United Liberation Organization (PULO), Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), dan Barisan Revolusi Nasional (BNP).
Akhir-akhir ini, situasi pertentangan Muslim dan pemerintah Budha Thailand mulai mereda. Pemerintah telah melakukan beberapa perubahan sikap terhadap umat Islam dari selalu curiga dan menekan, menjadi lebih terbuka, bersamaan dengan perubahan iklim demokratisasi Thailand. Tindakan-tindakan kekerasan telah berkurang dan bahkan umat Islam telah diikutsertakan dalam pemilu dan juga menempatkan wakilnya secara proporsional di parlemen.
Namun, pertentangan masih tetap ada, karena selalu saja ada perbedaan cara pandang antara kedua pihak. Organisasi-organisasi Islam masih tetap ada. Sayangnya, di antara mereka terdapat pengelompokan yang menyebabkan terhambatnya perjuangan Islam di Thailand. Kelompok modernis memiliki cara perjuangan yang berbeda dengan kalangan tradisional. Demikian pula kelompok yang berada di antara keduanya. Memang  jalan perjuangan yang terbentang selalu ditaburi oleh “duri-duri”. Thailand Selatan adalah salah satu sudut dunia Islam yang mencoba mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu dengan menghalau segala “duri-duri” yang menghadang.

masuknya islam di roma

Roma. Kota kuno yang begitu tersohor dibelahan dunia. Ibu kota negara Republik Italia ini menjadi pusat agama Katholik. Pengambilan kebijakan keagamaan umat Katholik terpusat di sana, di Vatikan. Italia terletak di Eropa bagian selatan. Dari sejarah italia, Dahulu di sini terdapat kerajaan Romawi pemuja para Dewa sampai Byzantium yang menganut Kristen.

Sejarah mencatat bahwa pasukan islam dibawah pimpinan halifah Abu Bakr Ash-Shiddiq, pernah melakukan perang dengan kerajaan Romawi, menaklukkan negeri Syam yang termasuk daerah teritorial kerajaan Romawi. Disinilah kelihaian Khalid bin Al-Walid terlihat dalam membuat strategi perang sehingga memenangkan peperangan, mengalahkan pasukan kerajaan Romawi yang berjumlah 240 ribu personel

Sedangkan masuknya islam, menguasai kepulauan Sisilia sampai ekspedisi ke Italia utara pada abad ke 8. Bahkan sampai ke kota Roma, terjadi saat pasukan muslim dari Afrika utara. Sayangnya invasi pasukan Muslim ini kurang intensif. Sehingga daratan Italia lepas dari tangan pasukan muslim. Pada tahun 1300 merupakan kehancuran benteng pertahanan Islam terakhir di Lucera, Puglia, sehinga Islam hampir tidak ada lagi di Italia sejak zaman penggabungan negara di tahun 1861 hingga tahun 1970-an.

Tapi pengaruh Islam di pulau Sisilia dan Italia terlihat dengan peninggalan berupa Bangunan dan benteng peninggalan pasukan muslim di Italia masih berdiri dan sekarang menjadi tempat pariwisata. Kontribusi islam saat itu bagi kebudayaan Eropa berupa ilmu pengetahuan, seni, sastra, arsitektur dan ilmu pengetahuan lainnya bahkan mempengaruhi pemikiran bangsa Eropa di jaman renaissance yang bermula di negara ini.

900 tahun kemudian, invasi Islam pun dilakukan kembali ke negara itu, namun bukan lewat peperangan. Tetapi lewat para pekerja, pedagang dan pelajar yang membawa Syiar Islam. . Sebagian besar dari mereka adalah imigran dari Afrika utara, Albania, Bosnia, Turki, Arab dan dari negara Islam lainnya. Kebanyakan mereka tinggal di pulau Sisilia, Roma, Milan, Turin dan kota-kota besar lainnya. Bahkan Gelombang imigran muslim pun terus bertambah dan mereka berbaur dengan masyarakat setempat.

Masjid dan Musholla bertumbuhan, organisasi Islam bermunculan dengan sekolah Islam dan toko makanan halal mulai banyak berdiri. Jumlah Masjid bertambah dari 16 menjadi 400 buah lebih hanya dalam jangka waktu 16 tahun. Syiar Islam pun menyebar dengan pesat. Bahkan berdiri masjid yang megah, Masjid Agung Roma, atau yang biasa disebut “Grande Moschea Masjid”.


Masjid ini menjadi simbol toleransi keberagamaan di Italia. Letaknya di Basilica, Santo Paulus Roma, persisi bersebelahan dengan Vatikan dan Sinagog Yahudi. Berdiri di atas lahan seluas 30 ribu meter persegi, masjid yang menjadi kebanggaan umat Islam Italia bahkan dunia ini mampu menampung sekitar 40.000 jama’ah. Lebih mengangumkan lagi, masjid ini merupakan masjid terbesar di daratan Eropa. Keberadaan masjid di tengah kota Roma itu tak terlepas dari jasa almarhum Raja Faisal bin Abdul Aziz Al-Saud, pemimpin Arab Saudi, yang meminta kepada Presiden Giovanni Leone, yang menjabat presiden Republik Italia ke-6 sejak tahun 1971-1978, untuk membangun masjid bagi umat Islam Roma.

Masjid Agung Roma disebut sebagai masjid terindah di Eropa. Dari kawasan Lembah Tiber, masjid itu tampak menjulang tinggi menyaingi Montenne Mountain, sebuah bukit yang sangat subur di utara kota Roma. Arsitek terkenal Italia, Paolo Portoghesi, dipercaya mendesain masjid ini setelah menyisihkan 40 arsitek lainnya, bersama arsitek Avio Mattiozzi pada tahun 1975. Portoghesi juga dosen sejarah arsitek di Universitas Roma.

Hanya dalam beberapa tahun saja jumlah pemeluk Islam di Italia meningkat sampai dua kali lipat. Sangat mengejutkan karena ternyata Islam dapat tumbuh dengan sangat pesat di negara yang sangat Katolik ini. Dan sekarang Islam adalah agama terbesar kedua di Italia.

perkembangan islam di korea

Tahap Awal Pendahuluan
Korea penuh kemiskinan, kesedihan dan penderitaan akibat dari Perang Korea yang meletus pada 25 Juni 1950. Dalam reruntuhan perang, Islam mulai menanam bijinya oleh Saudara Zubercoch dan Abdul Rahman yang berpartisipasi dalam Perang Korea sebagai anggota dinas militer Angkatan Darat Turki Perserikatan Bangsa-Bangsa ditempatkan di Korea. Selama pelayanan ia membangun sebuah gubuk Quonset digunakan sebagai Masjid, di mana ia berkhotbah doktrin Islam kepada Rakyat Korea.
Tentara Turki mengajarkan rakyat Korea di Tenda Masjid dibangun di pengungsi desa ajaran monoteisme Islam selama Perang Korea, sementara rakyat Korea mengabdikan diri pada kehidupan keagamaan dalam kegelapan berharap untuk masa depan yang cerah dengan percaya kepada Allah.
Persiapan Negara
Sebagai langkah pertama menuju Islam yang efektif bekerja di Korea, saudara-saudara Islam awal Korea mengorganisir sebuah masyarakat Muslim. Masyarakat Islam ini terpilih Almarhum Muhammad Umar Kim Jin Kyu sebagai presiden.
Kemudian, para pemimpin Korea muslim diundang untuk mengunjungi Negara-Negara Islam dan beberapa Muslim Korea dikirim ke Muslim College di Malaysia untuk dilatih sebagai calon pekerja dan para pemimpin Islam.
Delegasi Malaysia dipimpin oleh Wakil Menteri Tunku Abdul Razak dan istrinya, mengunjungi situs masjid yang diusulkan. Kemudian Haji Mohammad Nuh, seorang pejabat pemerintah Malaysia, melihat bahwa basis permanen harus didirikan untuk melaksanakan kegiatan dakwah.
Jadi, dengan pemerintah Malaysia donasi $ 33.000, ia menyerahkan uang ke Komunitas Muslim Korea untuk membangun sebuah masjid pada tahun 1963. Sayangnya, pembangunan masjid tidak dapat diselesaikan karena berbagai alasan di antaranya adalah inflasi.
Tahap Menetap
Itu bukan tugas yang mudah untuk membuat basis bagi kegiatan-kegiatan dakwah. Banyak kesulitan yang harus dialami dan dipecahkan.
Tetapi meskipun semua ini, yang berdedikasi Muslim awal berusaha keras untuk mempromosikan Islam, dengan penuh kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka berhasil dalam mengubah Islam ke Yayasan Islam yang disetujui oleh Pemerintah Korea dan terdaftar secara resmi di Kementerian Kebudayaan dan Informasi. (Pendaftaran no. 114, 13 Maret 1967)
Dengan demikian, Korea Muslim mulai membuat cara untuk dakwah aktif bekerja dan berhasil membuka era baru bagi muslims di Korea dengan kehendak Allah.
Take Off Negara
Mimpi panjang Muslim Korea, yakni pembangunan Masjid Sentral itu terwujud pada tahun 1976. Pembukaan Masjid Tengah dan Islam Pusat adalah titik balik paling penting bagi sejarah umat Islam Korea. Pada upacara pembukaan, 55 utusan dari sekitar 20 negara dimuliakan impian Muslim Korea, dan upacara pembukaan yang spektakuler adalah indikator ledakan peningkatan mendadak dalam jumlah Muslim Korea.
Pembukaan Masjid pertama Korea memberikan kontribusi terhadap perkembangan Islam yang cepat di Korea. Pejabat asing (VIP) yang berpartisipasi dalam upacara mengunjungi Perdana Menteri Choi Gyu Hwa untuk melakukan peran meningkatkan minat dalam Islam.
Sementara itu, Muslim Korea telah menunaikan haji ke Mekah untuk menginspirasi orang-orang dengan keyakinan Islam dan setia melakukan tugas pada tahun 1979, dan Muslim Korea memacu kegiatan dakwah di Korea mengambil kesempatan apa yang disebut “Boom Timur Tengah”(1974-1980) dengan menaikkan bunga di Timur Tengah dan Islam.
Ziarah ke Tanah Suci
Korea Muslim tidak malas dalam melakukan ziarah ke tanah suci, salah satu dari 5 Kewajiban Islam. Setiap tahun umat Islam Korea melakukan tugas suci dengan menyelenggarakan kelompok piligrims. Ziarah pertama dipimpin oleh Haji Subri Seo Jung Gil di tahun 1960. Salah satu kelompok terbesar yang pernah dilakukan Haji adalah pada tahun 1978 dengan 130 orang pada tahun 1979, 104 orang berhasil menunaikan ibadah haji.
Kronologi
· 1955 (September): Imam Zubercoch dan Abdul Rahman, Berpartisipasi dalam Perang Korea sebagai anggota dinas militer, meraih Quran untuk pertama kalinya di Korea.
· 1955 (Oktober): Komite Muslim korea mulai (Umar Kim Jin Kyu sebagai Ketua: Imam dan Sekretaris Jenderal uhammad Doo Yoon Young)
· 1961 (September): 14 orang misi yang dipimpin oleh Senator Ubaidulla dari Malaysia tinggal di Korea selama 13 hari.
· 1962 (Agustus): Para Perdana Menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman menyumbang $ 33.000 untuk dana pembangunan Masjid Tengah dari Muslim Korea
· 1963 (Oktober): Pembicara dari Malaysia saudara Haji Muhammad Noh mengunjungi Korea (berjanji untuk mengusulkan kepada pemerintah untuk Malasian pengembangan Korea Muslim)
• 1967 (Maret): Yayasan Islam Korea disetujui oleh Departemen Kebudayaan dan Informasi Korea (Persetujuan No 114, 3 Maret 1967) (Ketua Sulaiman Lee Hwa Shik), Sekretaris Jenderal Abdul Aziz Kim Il Cho)
· 1974 (Desember): Melalui Presiden Park Jung Hee, 1.500 m2 tanah disumbangkan sebagai lokasi pembangunan Masjid Sentral.
· 1974 (Mei): Konstruksi dari Seoul Central Masjid dan Islamic Center sudah selesai dan dibuka.
· 1976 (Desember): Masjid sementara Busan dibuka, Br. Kim Myung Hwan mulai melakukan kerja dakwah.
· 1976 (Maret):  Pusat Kebudayaan Islam Korea dipasang dan dioperasikan di Jeddah, Arab Saudi
· 1978 (April):  Masjid temporer dibuka pada Yok-ri Gwangjoo-eup, Gyunggi-do, Korea: saudara Abdullah Deuk Juni Lin mulai mengajarkan Islam kepada masyarakat.
· 1978 (Oktober): kelompok ziarah terbesar dari 132 orang pergi untuk melakukan ziarah suci untuk pertama kalinya dalam Sejarah Korea; Masjid Temporer Kuwait dibuka.
· 1980 (Mei): Perdana Menteri yang kemudian Choi Gyu Hwa berjanji kepada Raja Khalid dari Arab Saudia untuk menyumbangkan tanah untuk pembangunan Islamic College Korea selama join comminique.
· 1980 (Juli): 130 ribu Pyongs tanah disumbangkan untuk pembangunan College Islam Yongin, Gyunggi-do, Korea.
· 1980 (September): Upacara pembukaan Pusan Masjid Al-Fatah diselenggarakan
· 1981 (Juni): Uparaca pembukaan Masjid Kwang-Ju diselenggarakan
· 1982. (Agustus): Cabang Indonesia
· 1983 (Agustus): W.A.M.Y. Daerah Seoul Camp diadakan di bawah naungan OKI & W.A.M.Y.
· 1984 (Agustus): W.A.M.Y. Camp Muslim lokal dilaksanakan.
· 1985. (Juli): The 1st Leadership Training Camp diadakan
· 1985 (Agustus): The 2nd W.A.M.Y. Camp Muslim lokal dilaksanakan
· 1986. (April): Upacara membuka Masjid Anyang Rabita Al-Alam Al-Islam diadakan
· 1986 (September): Upacara membuka Masjid Joo Jeon Abu Bakr Sidiq diadakan
· 1987 (Agustus): 87 W.A.M.Y. Camp Muslim lokal dilaksanakan
· 1988 (Agustus): 88 W.A.M.Y. Camp Muslim lokal dilaksanakan
Akar Islam
Dari jaman penjajahan Jepang, Itaewon telah menjadi daerah pemukiman utama bagi orang-orang dari luar negeri. Pernah bertempat barak tentara Jepang, dan setelah 1945 senyawa besar di distrik menjadi milik pasukan AS. Sekitarnya dikembangkan sebagai magnet bagi semua jenis kegiatan pemukiman asing di Seoul.
Itaewon didominasi oleh sebuah bangunan yang jelas-jelas sebuah masjid. Bangunan yang mengesankan ini adalah pengingat akan kebangkitan komunitas Muslim di sini.
Islam telah hadir di negara ini untuk waktu yang sangat lama. Pada abad 8 dan 9, pelaut dan saudagar Arab sering mengarungi perairan pantai Selatan dan Asia Timur. Pada 845 disebutkan kata ‘Korea’ dalam bukunya, dalam sebuah frase:  ‘Di balik Cina, menyebrangi lautan, terdapat negara berbukit-bukit yang disebut ‘Silla’, kaya emas. Muslim yang tiba di sana secara tak sengaja sangat tertarik oleh karakternya sehingga mereka tinggal di sana selamanya dan tidak mau pergi. Pada waktu itu sejumlah pedagang muslim membuat rumah mereka.
Beberapa Korea juga membuat epik perjalanan ke Barat. Catatan mengkonfirmasi bahwa dalam 727 biksu yang terkenal Heoch’o mengunjungi Timur Dekat Arab dalam perjalanan kembali dari India.
Selama periode Koryo (918-1392) Kaesong, maka ibu kota negara, adalah rumah bagi komunitas Muslim yang berkembang, dan ada masjid juga. Anggota dari salah satu marga, keluarga Chang dari Toksu, masih ingat bahwa pendiri marga adalah seorang Muslim yang datang ke Korea pada zaman Koryo. Namun, dinasti Yi, yang merebut kekuasaan pada 1392, jauh lebih introspektif dari pendahulunya, sehingga awal ini hubungan dengan Timur Dekat secara bertahap layu.
Kebangkitan Islam terjadi selama Perang Korea. Perang itu terjadi sebagian besar oleh pasukan AS, tetapi dengan dukungan dari negara-negara lain, di antaranya Turki, pada waktu itu sekutu dekat Washington. Pasukan Turki termasuk yang paling banyak, sekitar 15.000 tentara, dan merupakan pasukan non-Amerika yang terlatih untuk mengambil bagian dalam perang.
Turki membawa Islam kembali ke Korea. Mereka terbukti tidak hanya menjadi pejuang yang baik tetapi juga berhasil menjadi pendakwah.  Tenda mereka sebagai masjid yang awalnya melayani para prajurit sendiri, akhirnya menjadi pusat utama aktivitas pendakwah. Turki memperbolehkan dan mendorong orang Korea yang sudah memeluk Islam untuk ambil bagian dalam ibadah. Turki juga terlibat dalam upaya kemanusiaan skala besar, yang meninggalkan kesan mendalam di penduduk setempat.
Ketika perang selesai dan unit Turki kembali ke rumah, mereka tinggalkan komunitas Muslim lokal yang kecil namun aktif. Masyarakat Muslim Korea diresmikan pada tahun 1955. Organisasi ini, kemudian dinamai ulang Yayasan Islam Korea, menjadi organisasi utama untuk beriman di sini. Anggota masyarakat dikirim ke luar negeri untuk pendidikan agama dan mencoba untuk membangun masjid permanen dengan bantuan hibah pemerintah Malaysia, tetapi tidak mampu. Doa diadakan di gedung darurat, dengan menara yang terbuat dari papan kayu dan besi frame.
Tahun 1960-an membawa dorongan baru Islam di negara ini. Pada waktu itu sejumlah besar pekerja konstruksi Korea dikirim ke Timur Dekat, di mana perusahaan-perusahaan domestik terlibat dalam berbagai proyek. Beberapa dari para pekerja ini kembali sebagai seorang Muslim di negaranya dan terlibat dalam kegiatan misionaris di antara rekan-rekan mereka.
Pada 1970-an, masjid permanen pertama didirikan di Itaewon, dibangun dengan bantuan dana yang disediakan oleh Arab Saudi dan dibuka pada tahun 1976. Pada waktu itu adalah salah satu bangunan paling menakjubkan di seluruh kota, dan masih mengesankan.
Jumlah muslim di sini diperkirakan sekitar 45.000 di samping 100.000 pekerja asing dari negara-negara Islam. Ada enam masjid permanen di seluruh negeri, dan secara umum, Islam adalah agama yang berkembang di sini.

sejarah islam di ethiopia

Kemunculan Islam di Ethiopia dan penetrasinya yang mendalam ke seluruh kawasan, begitu pula masuknya Islam ke Afrika, adalah satu dari sekian episode sejarah yang terabaikan, kecuali bagian tentang kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di wilayah tersebut, dan itu pun hanya sekilas. Para sejarawan Arab abad pertengahan tidak memedulikannya. Paragraf-paragraf yang mencurigakan dalam buku-buku sejarah dan tulisan orang-orang Barat lebih menyoroti wajah Kristen Ethiopia. Kedudukannya semacam benteng bagi misi Kristen di tengah-tengah lautan bangsa dan negara-negara Islam. Beberapa buku karya penulis Arab malah menjadikan tulisan-tulisan orang Barat sebagai referensi penelitian mereka.
Kita tahu bahwa sampai saat ini belum ada kajian dan penelitian serius tentang sejarah, situasi, dan realitas umat Islam masa lalu dan sekarang di Ethiopia. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, yang paling utama adalah kelangkaan referensi yang netral sebagai konsekuensi dari kelalaian dan penggelapan yang disengaja atas masalah itu dalam buku-buku sejarah, dan ketidaktahuan tentang peninggalan-peninggalan Islam yang berakar dan hidup di Ethiopia, cerita-cerita kepahlawanan perjuangan kaum Muslimin di Ethiopia dan Afrika, dan perjuangan yang tak kenal menyerah demi menjaga agama dan identitas Islam.
Umat Islam Ethiopia menghadapi serangan ganas dari tentara salib di masa lalu dan tipu daya mereka di masa kini. Mereka benar-benar terisolasi dari saudara-saudara muslim di sekeliling mereka. Pemerintahan dan kekuatan sekutu tentara salib yang silih berganti secara sengaja menyembunyikan potret Islam di Ethiopia. Mereka juga sengaja menghilangkan simbol-simbol Islam yang antik dan bernilai sejarah, yaitu dengan menghancurkan masjid-masjid kuno yang bersejarah, simbol-simbol yang menunjukkan keberadaan pemerintahan Islam yang dibangun oleh Bani Umayah, Bani ‘Uqail al-Hasyimi, dan Bani Makhzum yang datang dari pesisir Arab dan mendirikan pemerintahan Islam di Harar, Afar, Bale, Jima, Shewa, dan Dire Dawa. Pemerintahan salibis juga menghancurkan makam dan masjid, serta merusak manuskrip-manuskrip kuno.
Haile Selassie mengalokasikan anggaran khusus untuk memusnahkan arkeologi Islam. Dia mendatangkan ahli-ahli dari Barat untuk menghilangkan dan merusak landmark arkelogis dan memerintahkan pendirian gereja di atas reruntuhan landmark Islam untuk menunjukkan kepada dunia bahwa negara itu adalah negara Kristen. Proyeknya mendapat sokongan kuat dari tentara salib yang fanatik. UNESCO World Foundation, yang sebagian besar anggotanya berasal dari negara-negara Islam, telah berkontribusi besar dalam melestarikan warisan Kristen. Dalam sejumlah laporannya UNESCO menekankan harusnya mempertahankan landmark-landmark Kristen yang palsu, dan mengabaikan arkeologi Islam yang antik, padahal mereka mengetahui keberadaan arkeologi Islam yang nyaris punah.
Di era Menelik II, ayah Haile Selassie, Gubernur Provinsi Harar, merobohkan sebuah mesjid kuno, lalu membangun sebuah gereja di atas reruntuhannya untuk menunjukkan atau memberikan kesan bahwa Harar adalah negara Kristen. Semua gubernur yang ditugaskan oleh kaisar Menelik II juga berbuat serupa. Mereka menghapus landmark arkeologis Islam, mengubah nama-nama kota, mendirikan gereja di kampung-kampung dan kota-kota yang dulunya Islam, semisal Jima, dan Agaro di bagian Barat Ethiopia, Shewa di Ethiopia Tengah. Peninggalan Daulah Umawiyah, Makhzumiyah, dan Hasyimiyah di Ethiopia Timur juga dihancurkan.
Dari aspek penulisan sejarah negara Ethiopia, para penulis dan sejarawan cenderung menonjolkan wajah Kristen dan mengagungkan sejarahnya. Semua upaya dilakukan demi Kristen. Negara dijadikan benteng pertahanan dan lain sebagainya bagi Kristen. Buku dan media massa juga secara fokus mendistorsi sejarah Islam dan kaum Muslimin di kawasan. Bahkan raja Negus yang memeluk Islam—semoga Allah merahmatinya—juga tidak luput dari upaya-upaya pemalsuan, distorsi, dan pengabaian. Tidak ada satu pun penulis atau sejarawan asli Ethiopia maupun peneliti Barat yang menceritakan sejarah raja yang satu ini. Sejarah Raja Negus ditelantarkan, tetap tidak dikenal dan tidak diceritakan, bahkan hingga saat ini. Pemerintahan lokal Tigray baru-baru ini mengizinkan untuk mengungkap sejarah raja pertama sebelum Islam ini setelah didesak oleh umat Islam di wilayah tersebut. Mereka membuat makam untuk Raja Negus dan membangun sebuah masjid yang juga dinamai dengan namanya.
Sontak pihak gereja marah dan mengecam keputusan tersebut. Mereka menyangkal keberadaan raja Ethiopia sebelum Islam. Uskup Agung yang keras kepala mengecam keputusan pemerintah lokal Tigray. Dia menyangkal keras keberadaan Raja Negus. Dia bersikukuh kepada keyakinan gereja yang tidak mengakui peristiwa semacam ini. Tindakannya tersebut didukung oleh semua lembaga Kristen, sejarawan lokal, dan sejarawan Barat. Lembaga Studi Ethiopia semi resmi dan para guru besar Universitas Adis Ababa, yang mayoritas menganut Kristen, juga menyangkal bahkan mengutuk keputusan tersebut.
Pada saat upacara yang diselenggarakan oleh kaum Muslimin di Tigray dalam rangka pembukaan masjid dan pembangunan makam khusus untuk Raja Negus dan para sahabat mulia yang meninggal di sana, Uskup Agung mengatakan bahwa Ethiopia adalah negara Kristen dan umat Islam bukanlah warga negara asli Ethiopia. Dia menjelaskan kepada para pengunjung bahwa 70 % penduduk Ethiopia adalah umat Kristen dan 30 % yang lainnya adalah umat Islam dan kaum pagan yang tinggal di negara tersebut.
Semua media bersikeras dan senantiasa fokus menampilkan wajah Kristen melalui program radio, televisi, penerbitan, dan media cetak, dan emoh menampilkan landmark Islam secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah penerbitan milik Perusahaan Ethiopian Airlines yang membagi-bagikan fitur-fitur landmark Kristen di atas pesawat kepada penumpang supaya para turis atau pengunjung yakin bahwa Ethiopia adalah negara Kristen, agar mereka terpengaruh dan menanggapinya.
Prof. Haga, sejarawan Israel, memberikan kuliah umum pada tahun 1997 di Universitas Adis Ababa yang dihadiri banyak penulis, sejarawan, cendekiawan dan tokoh masyarakat lainnya. Kuliah yang disampaikannya mengambil judul Timur Tengah dan Islam. Dia mengatakan bahwa Timur Tengah tidak lagi murni Islam dan Kairo bukan lagi ibu kota Islam. Dia memberikan analisis atas pernyataannya dengan mengatakan bahwa situasinya secara keseluruhan telah berubah. Kontrol Islam terhadap kawasan ini sudah berakhir dengan munculnya negara Israel dan kontrol orang-orang Kristen atas Eritrea. Juga dengan adanya negara Ethiopia yang Kristen sejak dulu dan munculnya entitas Kristen di Mesir sebagai kekuatan yang berpengaruh di wilayah itu. Orang-orang Koptik bisa saja mendirikan negara Kristen di Delta Nil kapan pun mereka mau mengingat jumlah mereka yang terus bertambah, kebersamaan dan superioritas mereka dalam bidang pengetahuan.
Saat berbicara tentang Ethiopia, Haga mengatakan bahwa Ethiopia nyaris jatuh ke dalam kendali umat Islam pada era pertama kerasulan, karena masuk Islamnya Raja Negus—dialah dosen pertama yang mengakui masuk Islamnya Raja Negus—akan tetapi kesadaran kalangan gereja dan kalangan istana serta kemarahan mereka terhadap Raja Negus, di samping pengasingan Raja Negus sendiri di luar ibukota kerajaannya dan kematiannya di pengasingan telah menyelamatkan Ethiopia dan mengembalikan eksistensi Kristennya. Dengan demikian, Ethiopia adalah negara pertama yang mengalahkan Islam di era pertama pemerintahannya. Ethiopia juga negara pertama yang mengalahkan kekuatan Mesir yang berupaya menguasai sumber-sumber Nil.
Pada abad ke-16 Ethiopia juga berhasil mengalahkan kekuatan Imam Ahmad bin Ibrahim Sang Penakluk yang dijuluki si kidal, yang menaklukkan Ethiopia untuk Islam. Kemudian Haga memprediksikan bahwa Ethiopia bakal mengalahkan Islam di akhir zaman dan menghancurkan Ka‘bah. Dia merujuk sebuah hadis yang dihubungkan kepada Rasulullah Saw bahwa orang-orang Ethiopia bakal menghancurkan Ka‘bah pada akhir zaman. Dia juga merujuk hadis lainnya, “Tinggalkanlah orang-orang Ethiopia sebagaimana mereka meninggalkan kalian.” Kita jadi bertanya-tanya, apakah Isaias berencana menghancurkan Ka‘bah ketika mencaplok Kepulauan Hanis, Yaman, dekat pantai barat dengan bantuan Barat?
Demikianlah, Prof. Haga dan orang-orang yang seide mempersiapkan orang-orang Ethiopia, memobilisasi, menumbuhkan keberanian, dan memotivasi mereka agar suatu saat nanti siap menghancurkan Ka‘bah yang mulia, semisal dengan kuliah yang penuh kedengkian dan kebencian terhadap Islam tersebut. Dari waktu ke waktu orang-orang Ethiopia dicekoki oleh kuliah-kuliah semacam itu. Para pembicara dari Barat dan Israel silih berganti mengarang sejarah palsu dan menjejali pikiran orang-orang Kristen dengan aneka kebatilan.
Oleh karena itu, studi yang objektif dan mendalam tentang peninggalan Islam di Ethiopia dan berbagai hal yang tersimpan dalam memori rakyatnya tentang kehidupan para ulama Ethiopia, kaum sufi yang gigih dan patriotik, para pemimpinnya, dan umat Islam pada umumnya pada gilirannya akan menyingkirkan kabut tebal yang mengelilingi sejarah Islam Ethiopia yang terabaikan. Dengan tulisan ini saya bermaksud:
1. Meluruskan pemahaman yang salah kepada umat Islam dan umat Kristen bahwa Ethiopia adalah negara bagi umat Islam dan umat Kristen secara sama-sama. Keduanya telah hidup berdampingan selama berabad-abad. Nasib mereka sama dan masa depan mereka tergantung kepada koeksistensi yang damai. Ethiopia berhutang kepada Islam dan begitu juga sebaliknya.
2. Menunjukkan eksistensi Islam di Ethiopia kepada dunia tentang sejarahnya yang terabaikan, kebudayaannya yang terlupakan, dan peranan Islam dalam memajukan peradaban dan perekonomian Ethiopia karena berhubungan dengan pantai Islam, dan peran aktif lainnya yang diperankan oleh umat Islam dalam mendorong ke arah kemajuan ekonomi dan kebudayaan di Ethiopia.
3. Menunjukkan peran umat Islam dalam menjaga eksistensi dan perjuangan mereka dalam membela agama dan memelihara kemerdekaan negara.
Oleh karena itu, saya menyeru lembaga-lembaga Islam, semisal Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan Islam, Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan Arab, dan organisasi lainnya untuk fokus dan memperhatikan wilayah ini dan mengkaji secara fokus aspek-aspek sejarah Islam di Ethiopia yang terabaikan. Caranya adalah dengan mengkaji hal-hal berikut:
a. Raja Negus, hijrah para sahabat Rasulullah Saw yang pertama dan kedua ke Ethiopia beserta motif dan tujuannya, peninggalan dan nasib Raja Negus, dan nasib umat Islam di sekitarnya.

b. Peran para dai dan kaum sufi dalam menyebarkan agama Islam di Ethiopia sejak kemunculannya di pantai Islam, di pantai barat Laut Merah di Jeddah, dan di pantai timur, di pelabuhan Zeila dan pelabuhan Adulis.

c. Konflik pemerintahan Islam dengan raja-raja Kristen Ethiopia dan kemunculan Imam Ahmad Sang Penakluk pada puncak konflik tersebut; kemenangan Imam Ahmad atas kekuatan Kristen, upayanya dalam menaklukkan Ethiopia selama lima belas tahun kepada hukum Islam, dan faktor-faktor yang menyebabkan kekalahannya.

Kekuatan Kristen dunia bergabung melawan Islam dan umatnya di Ethiopia. Mereka menundukkan pemerintahan Islam kepada Ethiopia menghapus landmark-nya. Ketabahan umat Islam menghadapi serangan brutal yang dilancarkan oleh para raja dan kaisar Ethiopia Kristen terhadap umat Islam selama berabad-abad.

d. Umat Islam di era Tewodros sang penumpah darah, raja Ethiopia pada abad sembilan belas Masehi, dan ketabahan mereka menanggung derita penyiksaan, peperangan, pembunuhan massal, penghancuran masjid, pengusiran umat Islam di tangan penumpah darah ini.

e. Umat Islam di era tentara salib yang busuk, Yohanes IV, raja Ethiopia pada abad sembilan belas, serta pembantaian, kekejaman, dan genosida yang dilakukan oleh penjagal ini terhadap umat Islam. Dia memaksa umat Islam masuk Kristen dan menyalib para ulama yang gigih memegang teguh keyakinan. Dia mengeluarkan larangan seorang muslim memiliki sebidang tanah di bumi Ethiopia seraya mengatakan, “Ethiopia adalah bumi orang-orang Kristen. Silakan umat Islam pergi ke Makkah bila menolak memeluk agama Kristen.

f. Umat Islam pada era Menelik II pada abad kedua puluh yang mengumumkan perang terhadap pemerintahan Islam yang berdampingan dengan Ethiopia. Dia berhasil mendudukinya satu persatu berkat bekerja sama dengan negara-negara salibis, terutama Inggris, Prancis, Rusia, dan Italia. Dia menghancurkan masjid dan membangun gereja di atas reruntuhannya.

g. Haile Selassie dan Umat Islam. Haile Selassie dikenal sebagai antek-antek Barat dan terkenal dengan penipuan dan konspirasi busuknya terhadap Islam dan umatnya, serta perlakuan buruknya terhadap umat Islam dan bangsa Arab. Dia menghilangkan pelbagai peninggalan Islam dan mengubah berbagai fitur yang menunjukkan keberadaan landmark Islam di negara tersebut. Dia menganggap remeh umat Islam dan bisa dihilangkan kapan saja. Tanah-tanah milik umat Islam dinasionalisasikan dan dijadikan milik para pemimpin, tentara, dan umat Kristen pada umumnya. Dia memerintah pada dekade ketiga abad kedua puluh hingga dekade ketujuh pada abad yang sama. Era para raja ini merupakan periode terburuk bagi umat Islam di Tanduk Afrika. Pada periode ini pemerintahan Islam kehilangan kedaulatannya dan dianeksasi oleh kerajaan Ethiopia. Kaum muslimin disiksa, dihinakan, dan dianiaya oleh para raja Ethiopia. Penelitian apa pun seputar situasi kaum Muslimin pada saat itu niscaya akan melenyapkan debu-debu yang menutupi kejahatan para tiran tersebut terhadap umat Islam.

h. Manuskrip Islam kuno yang ada di berbagai tempat dan terancam punah atau rusak.

i. Masjid, makam kuno, pusat pendidikan, dan kewajiban untuk mempertahankannya;

j. Para ulama dan para dai dan penindasan yang mereka dapatkan dari para kaisar dan raja Ethiopia. Mereka berjuang dengan gigih dalam mengajarkan pemahaman Islam.

4. Menampilkan peran para dai dan para sufi dalam memelihara semangat jihad, mempertahankan iman, dan melindungi umat Islam, meskipun pada akhirnya mereka menderita kekalahan dan pendudukan. Telah muncul tokoh-tokoh penting yang senantiasa dikenang di wilayah Islam di Ethiopia, antara lain:

a. Syaikh Abadir yang dikenal dengan Syaikh Umar Razi—semoga Allah merahmatinya (Harar).

b. Syaikh Hasyim bin Abdil ‘Aziz, pengarang buku Fath al-Rahmân—semoga Allah merahmatinya (Harar).

c. Syaikh al-Kabir Nur Husain—semoga Allah menyucikan jiwanya (Barat Daya Ethiopia).

d. Syaikh Hasan Injam, pejuang besar—semoga Allah merahmatinya (Bale).

e. Para syaikh dan ulama terkenal dari Wollo, semisal Syaikh al-Syaukani, penulis buku-buku keislaman yang tulisannya belum sempat dicetak, Syaikh al-Ani, dan Syaikh Dana—semoga Allah merahmati mereka (Tenggara Ethiopia).

f. Syaikh al-Kabir Hamzah—semoga Allah merahmatinya (Aussa—Afar).

g. Syaikh Umar, seorang sufi dan pemilik gua yang terkenal dan dinamai dengan namanya sendiri—semoga Allah merahmatinya (Bale).

h. Syaikh Yahya, seorang sufi—semoga Allah merahmatinya (Harar).

i. Abdullah Hasan, pejuang besar yang terkenal dengan sebutan al-Mahdi, yang memerangi empat negara sekaligus: Inggris, Italia, Prancis, dan Ethiopia—semoga Allah merahmatinya (Ogaden, Timur Ethiopia).

j. Syaikh Thalhah Abu Saba, pejuang besar yang menghadapi para raja Kristen—semoga Allah merahmatinya (Wollo—Timur Laut Ethiopia).

k. Al-Amir Nur, pejuang besar—semoga Allah merahmatinya (Harar).

l. Al-Amir Umar Din—semoga Allah merahmatinya (Harar).

m. Amir Abullah, gubernur Harar terakhir, yang terlibat dalam pertempuran Chelenqo—semoga Allah merahmatinya (Harar);

n. Para pemimpin yang mulia dari kalangan Ahlul Bait r.a. yang berperan besar dalam menyebarkan Islam dan berpartisipasi dalam mempertahankannya. Mereka berjuang dan berjihad dalam menaklukkan Ethiopia seperti halnya Imam Ahmad Ibrahim sang penakluk.

o. Abu Jafar, Sultan Jima, berjuang dalam memelihara eksistensi Islam di Jima (Barat Ethiopia).

p. Rakyat muslim Afar yang berjuang dengan gigih dalam memelihara akidah dan identitas Islam. Mereka membela Islam dan lambang-lambang kesuciannya selama berabad-abad (Timur dan Selatan Ethiopia);

5. Terakhir, melakukan penelitian yang mendalam seputar umat Islam saat ini dan cara membangkitkan mereka secara budaya, ekonomi, dan sosial.
Menampilkan sejarah umat Islam di Ethiopia menjadi salah satu tugas yang sangat penting, karena generasi muda muslim Ethiopia merasa tersia-siakan. Mereka bertanya tentang sejarah, eksistensi, dan perjuangan leluhur mereka. Sebab, yang dapat dia baca hanyalah heroisme dan prestasi orang-orang Kristen terhadap ekspansi Islam, peperangan, dan lain-lain. Saya menyeru lembaga-lembaga Islam yang punya perhatian terhadap warisan Islam agar berinisiatif mengungkap sejarah yang terabaikan dan terkubur ini, serta berupaya memelihara berbagai peninggalan Islam dari kerusakan dan kepunahan.[]
Oleh: Prof. Kamil Abu Bakar Syarif
Peneliti dari Ethiopia