Pengikut

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Minggu, 22 Januari 2012

minoritas muslim dan konflik di thailand selatan

tertentu yang memiliki kepentingan. Di antara mereka adalah aparat pemerintah.
Berlanjutnya kerusuhan akan mendapatkan budget lebih besar bagi rehabilitasi dan pembangunan lainnya. Separatisme, Etnis atau Agama? Bagi masyarakat Indonesia, konflik di Thailand Selatan sangat kental dengan nilai-nilai agama. Mereka melihat konflik ini adalah pertarungan antara Muslim Melayu dan Buddis Thai. Kata ‘Muslim’ dan ‘Buddhis’ mengarahkan pada kuatnya pengaruh agama dalam masing-masing masyarakat. Apabila dilihat lebih dekat, identitas Muslim Melayu di Selatan memang sangat kuat. Masyarakat khususnya di tiga provinsi: Pattani, Yala, dan Narathiwat identitas keislaman dan kemelayuan tidak bisa dipisahkan. Masyarakat lebih welcome dengan orang Melayu daripada dengan etnis lain, terutama Thai.
Penggunaan bahasa Melayu menurut statistik nasional Thailand juga sangat kuat di tiga provinsi ini, di atas 70 %, dibandingkan dengan provinsi lain di Selatan: Satun dan Songkhla. Tetapi bahasa Melayu ‘dilarang’ digunakan sebagai bahasa resmi di perkantoran, lembaga pendidikan pemerintah, dan tempat atau acara resmi lainnya. Larangan ini tidak menyurutkan masyarakat untuk menggunakan ba hasa Melayu, karena bahasa ini memberi spirit identitas mereka, yang berbeda dengan mayoritas warga Thailand, yang berbahasa Thai dan Buddha.
Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 2000 orang meninggal berkaitan dengan konflik di Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap Muslim. Pada April 2004, 30 pemuda Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah karena didirikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada Khalifah Abbasiyah.
Peristiwa kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di perjalanan, setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam kondisi terikat tangan di belakang. Dua peristiwa ini sangat membekas di hati Muslim, dan banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin menggiatkan penyerangan terhadap berbagai organ pemerintah maupun masyarakat Buddha. Reaksi Muslim selatan ini direspon negatif oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat militer di kelima provinsi ini.
Peristiwa Takbai yang menewaskan Muslim sekitar 200 orang menimbulkan reaksi paling keras dari milisi Muslim, yang kemudian membalas dengan penembakan dan pemboman misterius yang menargetkan korban tentara, polisi, pegawai pemerintah Thai, etnis China dan pendeta Buddha. Hampir setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban dipihak tentara atau Buddha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika Serikat yang menawarkan bantuan keamanan untuk mengatasi ‘gerilyawan’ dari Selatan.
Upaya rekonsiliasi telah dilakukan oleh pemerintah pusat dalam lima tahun terakhir, dengan terbentuknya Komisi Rekonsiliasi Nasional yang mengantarkan dan memediasi perdamaian di Selatan. Kuatnya peran tentara di Thailand, membuat banyak rekomendasi komisi tidak bisa dijalankan. Pendidikan, pekerjaan dan fasilitas pemerintah lainnya tetap saja tidak leluasa dinikmati bagi Muslim Melayu. Persyaratan pemakaian ketat bahasa nasional Thai dan sikap yang mencerminkan nasionalisme –pro kebijakan pusat – menjadi penghambat rekonsiliasi yang telah dilakukan baik oleh lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan komisi rekonsiliasi. Kehadiran masyarakat internasional, antara lain Nahdlatul Ulama yang menjembatani ulama di Thailand Selatan dan pemerintah- kerajaan Thailand akan banyak membuahkan hasil jika pemerintah pusat mengakomodasi gagasan dan harapan Muslim Melayu di Selatan, yaitu penggunaan tradisi Muslim Melayu lebih terbuka, dan pengakuan pemerintah pusat atas tradisi ini, khususnya di Pattani, Yala, dan Narathiwat.
Dapat disimpulkan, tumbuhnya sikap anti pemerintah pusat yang dilakukan oleh Muslim di Selatan Thailand diakibatkan banyak hal. Kesenjangan ekonomi menjadi kunci atas terus berlangsungya gerakan ‘separatisme’ atau dalam istilah David Brown sebagai ‘separatisme etnis’ atas dominasi kolonialisme internal Thailand. Kesenjangan ini telah berlangsung puluhan tahun. Akibatnya, masyarakat Muslim yang mendapat tekanan politis dan keamanan dari pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Sebagian dari mereka secara diam-diam mendukung gerakan anti-pemerintah. Bahkan beberapa di antara mereka aktif terlibat dalam aksi kekerasan.

1 komentar:


  1. DISINI, Anda langsung bisa coba dahulu dengan nominal deposit Rp 10.000,-kamu tidak akan menyesal bergabung dengan VITAPOKER. Selamat Bergabung dan Salam Jackpot !


    Promo Terbaru Poker Online – Promo Menjelang Ramadhan Pokervita 1440 Hijriah
    KLIK SINI LANGSUNG!!!


    Informasi Lebih Lanjut:
    | Whatsapp : +62 812-222-2996
    |lINK KAMI di : WWW.POKERVITA.VIP

    BalasHapus