Pengikut

Powered By Blogger
Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Minggu, 22 Januari 2012

perkembangan islam di thailand selatan

Perkembangan Islam di Thailand Selatan

Melayu Pattani atau yang acapkali disebut Pattani, merupakan satu dari sekian banyak kelompok etnik Melayu di Asia Tenggara. Kelompok sosial ini bermukim di Tanah Genting Kra, Provinsi Pattani, Thailand Selatan (Pantai Teluk Thailand). Pattani juga merupakan salah satu nama dari empat provinsi di Thailand bagian selatan yang mayoritas penduduknya menganut agama Islam atau sekitar 80% muslim. Di sebelah selatan, wilayah ini berbatasan langsung dengan Malaysia bagian utara, Semenanjung Malaka, region Asia Tenggara. Sementara di bagian utara dan barat, provinsi ini berbatasan langsung dengan Provinsi Yala (Jala) dan Narathiwat (Menara) di mana kedua provinsi ini pada masa lalu merupakan bagian dari Tanah Genting Kra atau Pattani Raya.
Dalam prosentasenya, penduduk muslim di Negeri Gajah Putih hanya sekitar 5,5% dari keseluruhan warga negara yang mayoritas beragama Buddha (Asian Survey, Mei 1998). Dari 5,5% ini hampir seluruhnya orang Melayu Pattani yang bermukim di Provinsi Pattani. Fakta kuantitatif tersebut menyebabkan mereka terpinggirkan secara sosial dan politik, serta menjadikannya sebagai sukubangsa minoritas di Thailand. Karena hal itu pula, hingga kini, masih saja muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap negara (penguasa) dari orang Pattani. Salah satunya ialah gerakan separatis masyarakat Pattani yang dikenal dengan dar al-Islam.
Dar al-Islam merupakan gerakan militan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari belenggu ketidakadilan dari pemerintahan Kerajaan Thai (bangsa Siam / Ayuthaya). Selain itu, buntut dari pelbagai persoalan di masa lalu yang tak kunjung usai juga menjadi motif gerakan ini untuk mendeklarasikan negara Islam. Hal ini senada dengan kondisi masyarakat Melayu Moro di Pulau Mindanao, Filipina bagian Selatan, di mana sama-sama berkeinginan untuk memisahkan dari cengkraman negara induknya, Filipina.
Bila menilik dari sejarahnya, sejak abad ke-11 M hingga tahun 1786, Kerajaan Pattani Raya merupakan sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang cukup luas, kira-kira luasnya setara dengan luas wilayah negara Thailand saat ini plus beberapa area yang kini termasuk teritori Malaysia Utara. Pada masa kejayaan Sriwijaya di Nusantara, Pattani dan kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang terdapat di daerah Semenanjung Melayu dan Sumatra sempat berada dalam kekuasaan imperium Sriwijaya. Dari abad ke-7 M hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya menguasai jalur pedagangan di Selat Malaka, dan menarik pajak dari para pedagang yang melintasi dan berdagang di kawasan itu.
Nama Pattani sesungguhnya baru muncul di sekitar abad ke-14 M. Sebelum itu, tanah Pattani adalah hak milik dari kerajaan yang bernama Langkasuka. Langkasuka merupakan salah satu dari puluhan kerajaan kuna di Asia Tenggara. Langkasuka berubah menjadi Pattani pada abad ke-14 karena berbagai hal yang sifatnya politik-ekonomi, terutama lantaran kerajaan ini berada di pusat perdagangan dan bertemunya para merkantil dari Asia dan Eropa (Syed Serajul Islam, 1998). Pedagang Arab mulai masuk sekitar abad ke-12, dan mencapai puncaknya di abad ke-15 melalui para pedagang Arab yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Pattani Raya.
Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi Kerajaan Pattani Raya tumbuh pesat. Oleh karenanya, interaksi semakin intens antara raja Pattani dan masyarakatnya dengan para pedagang yang berlabuh tadi, maka pada abad ke-15 raja Pattani mendeklarasikan bahwa dirinya—yang juga diikuti masyarakatnya—memeluk Islam. Sejak itu, Pattani dikenal sebagai masyarakat berbasis Islam dengan corak budaya, organisasi sosial masyarakatnya, dan institusi pemerintahan yang tentu berlainan dengan model Kerajaan Langkasuka yang berkiblat pada Hindu-Buddha.
Namun, setelah berperang selama hampir setengah abad (dari tahun 1785—1826 M), memasuki abad ke-19 akhirnya Pattani dikalahkan kembali oleh Siam (Ayuthaya). Hal ini didukung oleh pemerintah kolonial Inggris yang pada tahun 1826 M mengakui kekuasaan Siam atas Pattani. Pada tahun 1902 M, Kerajaan Siam memberlakukan kebijakan Thesaphiban yang menghapus seluruh sistem pemerintahan kesultanan Melayu di Pattani. Sejak saat itu, Kerajaan Pattani semakin lemah dan tertekan.
Di awal abad ke-20, ketika Perang Dunia II meletus, bangsa Siam berpihak pada Jepang untuk menentang kependudukan Inggris. Sementara itu, Tengku Mahmud Muhyiddin, salah seorang putera mantan raja Pattani, berdinas dalam ketentaraan Inggris dengan pangkat mayor. Ia kemudian membujuk penguasa kolonial Inggris yang berkantor di India agar mengambil alih Pattani dan menggabungkannya dengan Semenanjung Melayu. Pada 1 November 1945, sekumpulan tokoh Pattani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil menyampaikan petisi pada Inggris agar empat wilayah di daerah selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Melayu.
Dalam perkembangannya, ternyata Inggris tetap mengutamakan kepentingan dirinya sendiri sebagai tolok ukur dalam mengambil keputusan. Dengan alasan tergantung pada pasokan beras dari Siam, maka kemudian Inggris memilih tetap mendukung pendudukan Siam atas Pattani. Pada tahun 1909 M, Inggris dan Siam menandatangani perjanjian yang berisi pengakuan Inggris terhadap kekuasaan Siam di Pattani. Dalam perjanjian itu, dijelaskan secara tegas mengenai batas wilayah kerajaan Siam dan Semenanjung Melayu. Garis batas yang disepakati dalam perjanjian tersebut sekarang menjadi daerah batas Malaysia dan Thailand.
Dari semua itu, sejarah panjang rakyat Pattani kerap diwarnai dengan perang dan damai; dua keadaan ini datang silih berganti. Namun, apapun kondisinya, ternyata rakyat Pattani tetap memiliki kehidupan sosial budaya yang tidak jauh berbeda dengan kawasan Melayu lainnya. Di Pattani, ternyata juga berkembang berbagai pertunjukan dan permainan rakyat, seperti Makyong, mengarak burung, wayang kulit Melayu, dan seni musik nobat.
Bahkan, permainan tradisional masyarakat Siam, yaitu menora, juga digemari oleh masyarakat muslim Pattani. Dalam permainan menora, terdapat unsur ritual, nyanyian, tarian dan lakon. Berkaitan dengan alat-alat musik, yang berkembang luas di masyarakat adalah serunai, nafiri, dan rebab. Sebagai bangsa yang hidup di dalam kuasa bangsa Siam, di Pattani tetap muncul suatu perlawanan. Perlawanan tersebut terefleksi dalam nyanyian rakyat ketika menidurkan anak (lagu dodoi).

1 komentar:


  1. DISINI, Anda langsung bisa coba dahulu dengan nominal deposit Rp 10.000,-kamu tidak akan menyesal bergabung dengan VITAPOKER. Selamat Bergabung dan Salam Jackpot !


    Promo Terbaru Poker Online – Promo Menjelang Ramadhan Pokervita 1440 Hijriah
    KLIK SINI LANGSUNG!!!


    Informasi Lebih Lanjut:
    | Whatsapp : +62 812-222-2996
    |lINK KAMI di : WWW.POKERVITA.VIP

    BalasHapus